I.
PENDAHULUAN
II.
KEUNTUNGAN
III.
INDIKASI ANESTESIA TEHNIK HIPOTENSIF
IV.
KONTRAINDIKASI
V.
KEBUTUHAN / PENGGUNAAN
VI.
METODA DAN OBAT-OBATAN
VII.
EFEK FISIOLOGIK PADA ORGAN VITAL
VIII.
KOMPLIKASI
I.
PENDAHULUAN
Penggunaan tehnik dan obat-obat yang poten dan
potensial berbahaya pada anestesia tehnik hipotensif memerlukan pemahaman
farmakologik dan fisiologik. Obat-obatan dan dosis harus diseleksi dengan
hati-hati setelah menilai kasus secara komprehensif yang meliputi usia
penderita, status fisik dan mental, prosedur pembedahan; dan ketrampilan dan
pengalaman operator , anestesiologis, dan kamar bedah, ruang pemulihan dan
petugas unit perawatan / terapi intensif.
1.
Sebelum pemilihan metoda hipotensi terkendali,
harus dipastikan keuntungan lebih dari kerugian setelah menilai ulang semua
fakta.
2.
Jika indikasi tepat dan konduksi dengan
hati-hati, maka hipotensi terkendali dapat menjadi efektif, tehnik aman untuk
kondisi pembedahan tertentu.
II.
KEUNTUNGAN TEHNIK HIPOTENSI TERKENDALI.
1.
TEHNIK ini mengurangi kehilangan darah dan
mengurangi kebutuhan transfusi darah.
2.
Hal itu mengurangi perembesan darah (oozing).
3.
Pengurangan jumlah anestetika adalah penting.
III.
INDIKASI.
1.
Pembedahan kepala dan leher
2.
Pembedahan syaraf : aneurisma, meningioma dan
eksisi tumor vaskuler
3.
Pembedahan kanker dimana perdarahan sulit
dikendalikan
4.
Prosedur pelvik, misalnya eksenterasi pelvik
dengan diseksi nodus
5.
Pembedahan vaskuler, seperti portacaval shunt
6.
Pembedahan ortopedi ; prosedur disartikulasi dan
koreksi skoliosis.
IV.
KONTRAINDIKASI
1.
Gagal jantung
2.
Arteriosklerotik
3.
Hipertensi berat
4.
Penyakit serebrovaskuler
5.
Gangguan ginjal dan hati
6.
Anemia berat dan atau penurunan voluma darah
7.
Insufisiensi respiratorik
8.
Narrow angle galucoma, jika tidak menggunakan
obat penghambat ganglionik disebabkan pengaruhnya dilatasi pupil
9.
ANESTESIOLOGIS – DOKTER /TIM BEDAH – Ruang Pulih
– kurang / TIDAK berpengalaman dengan tehnik hipotensi
V.
PENGGUNAAN – KEBUTUHAN
1.
Pertimbangan keuntungan lebih besar daripada
risiko
2.
Pemilihan penderita yang tepat
3.
Pengaturan posisi penderita yang tepat
4.
Pemantauan ketat :
a.
Pemantauan tekanan darah arterial kontinyu
melalui kanulasi arteri radialis
b.
Pemantauan tekanan vena sentral (CVP)
c.
Penggunaan elektrokardioskop
d.
Pemantauan perdarahan / pengawasan irigasi
daerah pembedahan
e.
Pantau suhu
f.
Pemeriksaan gas darah arteri, hemoglobin dan
hematokrit sesuai indikasi
5.
Ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
6.
Transfusi darah
7.
Voluma darah prabedah normal
8.
Lamanya
Tehnik hipotensif singkat
9.
Dokter anestesi berpengalaman dan dokter bedah
yang trampil
10.
Perawatan paska bedah intensif (ruang pulih dan
unit rawat intensif) ;
a.
Pastikan transfusi darah sudah memadai sesuai
perdarahan
b.
Penderita sadar, responsif , respirasi baik dan
warna kulit kemerahan
c.
Oksigen diberikan melalui sungkup atau kanula
hidung
VI.
OBAT-OBATAN DAN METODA
1.
Trimethapan
2.
Nitroprusside
3.
Nitroglycerin
4.
Cedocard ?
5.
Catapres ?
6.
Anestetika inhalasi (halothan, enfluran,
isofluran , sevofluran ) sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan obat lain
1. Trimethaphan
; efek hipotensi disebabkan blok ganglion, vasodilatasi langsung (penurunan
resistensi perifer) dan pelepasan histamin.
a.
Trimethaphan bekerja singkat, pengembalian dari
hipotensi memakan waktu 10-30 menit.
b.
Hindari penggunaan bila ada alergi atau
peningkatan tekanan intrakranial
c.
Menyebabkan penurunan tensi bertahap, cepat dan
reversibel
d.
Mekanisme kerja singkat obat ini mungkin
disebabkan ekskresi 30% obat melalui urin.
e.
Tingkat penurunan tensi harus disesuaikan dengan
oozing vaskuler, kemudian dipertahankan. Coba tensi tidak kurang dari 80-90
mmHg , bila semua memungkinkan, mengurangi komplikasi pasca bedah. Pada
penderita ASA I, penurunan tensi sampai 70 torr masih bisa diterima.
f.
Kerugian :
i.
Takhipilaksis
ii.
Takikardia
2. Nitroprusside
(Nipride)
a.
Obat poten, aksi cepat timbul hipotensi bila
diberikan IV infus
b.
Efek nya melalui vasodilatasi perifer dan
penurunan resistensi perifer
c.
Mekanismenya melalui aksi langsung pada dinding
pembuluh, persarafan otonomik independen.
d.
Segera setelah pengurangan obat atau
penghentian, tekanan darah mulai meningkat ke tingkat tensi awal dalam 1-10
menit
e.
Jarang takipilaksis
f.
Preparat yang tersedia Sodium Nitroprusside
dihydrate 50 mg, diencerkan 500 c atau 1000 cc D/W 5% menjadi konsentrasi 0,01%
sampai 0,002%, pemakaian tergantung usia dan status fisik penderita.
g.
Degradasi ; terjadi pada pH ringan atau rendah,
menjadi natrium ferrosianida dan sianida. Jadi ada kemungkinan keracunan
sianida ;
i.
Adanya dua komponen ini ditandai dengan
perubahan warna dari coklat-merah muda (normal) menjadi coklat tua atau biru
(abnormal); ini pertanda obat tidak bisa dipakai lagi.
ii.
Pemecahan karena cahaya dapat dicegah dengan
penyimpanan obat dalam botol gelap atau melapisi kontener dengan kertas timah
opak.
h.
Nitroprusside dapat diberikan dengan pompa infus
atau pengatur tetesan mikro, dan tekanan darah dipantau langsung melalui kanula
arteri radialis.
i.
Meskipun nitroprusside merupakan agen hipotensif
yang baik – aksi cepat reversibel dan dapat diperkirakan- tetapi dapat memberi
efek metabolik kebalikannya bila dosis > 3 mg/kg.berat badan . Pada dosis tinggi,
pernah dilaporkan terjadi hipotensi berat dan atau methemoglobinemia.
j.
Dosis rata-2 nitroprusside adalah 3
mikrogram/kg/menit (0,5 – 8 mikrogram/kg/menit). Satu vial nitroprusside (50mg)
diencerkan 500 ml D5W; 1 ml berisi 100 mikrogram.
3. Nitroglycerin
a.
Diberikan IV untuk menurunkan TD
b.
Waktu paruh plasma singkat, mudah di kontrol,
tidak ada efek toksik langsung atau metabolik toksik.
c.
Nitrogycerin menyebabkan dilatasi langsung
melalui reaksi pada otot polos pembuluh, predominan pada pembuluh kapasitans,
sehingga penurunan arus balik vena.
d.
Niroglycerin mungkin tidak bisa meng induksi
hipotensi pada orang muda yang di anestesi dengan narkotik – nitrous oksida-
oksigen . penderita ini memerlukan
tehnik lain untuk penurunan TD.
e.
Preparat nitroglycerin 10 mg dlm 20 ml ampul
kaca, atau 500 mikrogram /ml. Stabil.
f.
Obat diabsorpsi oleh kantong plastik, sehingga
infus melalui botol kaca. Dosis awal 1 mikrogram/kg/menit, ditingkatkan sampai
tercapai TD yang diharapkan.
4. Halothan,
enfluran dan isofluran.
VII.
EFEK FISIOLOGIK PADA ORGAN PENTING
1.
OTAK
a.
Metabolisme otak mungkin tidak seperti tingkat
biasanya selama tehnik hipotensif yi; bila tekanan darah sangat rendah dan
penderita dalam posisi kepala lebih tinggi.
b.
Jika tekanan darah berkurang dibawah 60 torr
/mmHg, tidak mungkin terjadi peningkatan vasodilatasi serebral ; penurunan
tekanan darah lebih lanjut akan berakibat penguranagan aliran darah darah
serebral.
c.
Konsumsi oksigen tidak berubah bermakna.
d.
Perubahan fungsi mental minimal pada pasca
bedah; biasanya hanya sementara.
2.
JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
a.
Perfusi koroner tetap adekuat.
b.
Disini tidak ada kerusakan miokardial permanen,
meskipun begitu mungkin terjadi iskemik miokardial transiens pada penderita
lanjut usia atau penderita hipertensi jika tekanan darah turun dibawah 60 mmHg.
Pada penderita ini, tekanan sistolik minimal 80 mmHg harus dipertahankan selama
pembedahan.
c.
Perubahan cardiac output bervariasi tergantung
kepada obat atau tehnik yang dipakai.
i.
Trimethaphan menyebabkan cardiac output sedikit
berubah.
ii.
Pentolinium (Ansolysen), perubahan cardiac
output tergantung dosis
iii.
Blok spinal tinggi dan anestesia umum dalam akan
mengakibatkan penurunan cardiac output yang bermakna.
iv.
Nitroprusside tidak menyebabkan penurunan
cardiac output jika tekanan darah dipertahankan diatas 80 mmHg dan kondisi lain
stabil.
3.
HATI
a.
Berdasarkan fisiologi dan anatomi asupan darah
hati, itu menjadi subyek hipotensi tingkat kritis lebih lanjut
b.
Hati mendapat pendarahan dari dua sumber: (1)
arteri hepatika memberi 20% darah dari asupan total pada tekanan oksigen tinggi
(saturasi oksigen 95%) dan (2) vena porta memberi 80% asupan darah pada 74%
saturasi oksigen.
c.
Jika tekanan darah turun dibawah 60 mmHg , hati
menjadi sianotik dan mengeras.
d.
Jikka hati dibuat anoksia, (1) ia tidak bisa
membuat urea dari garam ammonium atau asam amino, dan (2) ia tidak dapat
menghentikan substansi vasodepresor.
4.
PARU-PARU
a.
Ruang mati fisiologik meningkat.
b.
Kapasitas vital meningkat.
5.
GINJAL
a.
Pembentukan urin. Filtrasi ginjal berkurang
bersamaan penurunan tekanan sistolik. Sistolik dibawah 60 mmHg, pembetukan urin
berkurang ; meskipun begitu, bukan berarti ada kerusakan ginjal.
b.
Aliran darah ginjal. Awalnya berkurang, kemudian
kembali ke tingkat prabedah. Hal itu bertahan selama tekanan sistolik turun,
melalui kompensasi vasodilatasi. Mekanisme ini gagal bila tekanan darah turun
dibawah 60 mmHg.
VIII.
KOMPLIKASI.
Induksi
hipotensi dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
1.
Komplikasi paling sering adalah:
a.
Trombosis serebral dan hipoksia
b.
Perdarahan reaktif
c.
Gagal ginjal, oliguria dan anuria
d.
Trombosis koroner, gagal jantung dan henti
jantung
e.
Fenomena tromboemboli
f.
Pemulihan kesadaran lambat
g.
Hipotensi persisten
2.
Insidens tersebut dapat dikurangi oleh dokter anestesi yang berpengalaman dengan
tehnik ini.
IX.
Penggunaan vasopresor: ada dua pandangan
1.
Beberapa berpegang bahwa tekanan darah dibuat
normal seperti prabedah saat penutupan luka , sehingga sumber perdarahan dapat
di ligasi atau di kauterisasi.
2.
Pandangan lain adalah pemberian vasopresor
bertentangan dengan tujuan induksi hipotensi. Bekuan darah terbentuk di
pembuluh darah yang dilatasi. Jika proses melawan hipotensi dikerjakan, vena
berkontraksi pada tempat terbentuknya bekuan darah . Vasopresor mungkin akan
melepaskan bekuan darah dan mengakibatkan perdarahan.
X.
Kepustakaan
1. Snow
J.C. Manual of Anesthesia. 2-nd ed. , pg. 179-183, Little, Brown and Co.
Boston, 1982.
2.
A. PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya dari pembangunan nasional yang diselenggarakan di semua bidang kehidupan dan diarahkan guna terciptanya masyarakat Indonesia yang sehat. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Optimalisasi derajat kesehatan masyarakat
di implementasikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah
pelayanan Anestesi, yang dilakukan selain dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat terhadap pelayanan anestesi juga ditujukan pada perluasan dan
pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan penggunaan sarana kesehatan sehingga
dapat meningkatkan mutu kehidupan masyarakat Indonesia secara maksimal.
Di dalam pelayanan anestesi, keberadaan perawat anestesi menjadi penting karena perawat anestesi merupakan salah satu pelaksana dalam praktik pelayanan anestesi disamping dokter anestesi di rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya. Perawat anestesi saat ini sangat dibutuhkan mengingat situasi pelayanan anestesi masih belum dapat berjalan secara optimal dikarenakan keberadaan dokter anestesi yang jumlahnya belum dapat memenuhi kebutuhan sarana pelayanan kesehatan di berbagai wilayah di Indonesia khususnya pada daerah perifer atau daerah terpencil.
Di Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan
beberapa kota lainnya, pada jam kerja sering tidak dijumpai seorang dokter
anestesi, sedangkan menurut ketentuan dalam aturan perundangan dalam pelayanan anestesi
dokter anestesi seharusnya ada di tempat sepanjang di lakukan operasi dan
pembiusan dalam pelayanan anestesi. Yang terjadi adalah lebih sering
dijumpai perawat anestesi sebagai pelaksana anestesi dari pada dokter
anestesi. Dari sudut pandang keilmuan, anestesi merupakan tindakan medik namun
disisi lain, berdasarkan ilmu yang di dapat oleh perawat anestesi dan
berdasarkan praktik yang terjadi secara berulang dan terus menerus, perawat
anestesi dinilai telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mampu
melakukan pembiusan ,ini didasarkan pada ilmu yang diperolehnya selama dalam
proses pendidikan ditambah dengan pengetahuan yang diperoleh secara praktis.
Terkait
dengan pengaturan mengenai pelayanan anestesi dimana di dalamnya terdapat
ketentuan bagi dokter anestesi dan perawat anestesi dalam melaksanakan
pelayanan anestesi, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI. telah memperbaiki sistem pelayanan anestesi
dengan telah menerbitkan Standar Pelayanan Anestesi dan Reanimasi di Rumah
Sakit melalui Peraturan Menteri
Kesehatan RI. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 779/Menkes/SK/XIII/2008
tentang Standar Pelayanan Anestesi di rumah sakit dinyatakan bahwa pelayanan
anestesi dapat di berikan oleh perawat anestesi apa bila tidak ada dokter anestesi pada batasan ASA I dan II serta
pada situasi dan kondisi Emergensi. Kegiatan pelayanan anestesi bertujuan
memberikan pelayanan anestesi dan meningkatkan kualitas hidup dari
pasien. Untuk itu sebagai konsekuensinya perawat anestesi dituntut untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya secara efektif dan efisien sehingga dapat memenuhi harapan dokter yang melakukan pembedahan
(user).
Dengan
tuntutan yang semakin kompleks terhadap pelayanan anestesi di Sarana Pelayanan
Kesehatan/Rumah Sakit terutama untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan pelayanan anestesi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan serta dalam memberikan
kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga pelaksana anestesi, maka
seharusnya Pemerintah membuat aturan yang dapat dijadikan acuan atau payung
hukum oleh para praktisi pelayanan anestesi baik perawat anestesi maupun dokter
anestesi secara tepat sasaran sehingga para praktisi tersebut dapat bekerja
secara profesional dalam kondisi aman dan nyaman.
Kondisi
sarana pelayanan kesehatan saat ini di berbagai wilayah di Indonesia
menunjukkan bahwa masih banyak rumah sakit yang belum memiliki dokter anestesi
sehingga pelayanan anestesi sepenuhnya dilaksanakan oleh perawat anestesi
dengan berdasarkan penugasan/atau pelimpahan wewenang dari Direktur Rumah
Sakit, sehingga tanggung jawab berada pada Direktur rumah sakit tersebut. Hal
ini bertentangan dengan ketentuan hukum dimana seseorang yang malaksanakan sesuatu haruslah bertanggung jawab terhadap
apa yang dilaksanakannya. Hal ini
terjadi sebagai konsekuensi diterbitkannya aturan perundang-undangan yang
kontroversi terhadap kaidah hukum di Indonesia. Seharusnya apabila perawat
anestesi telah dididik dengan kompetensi yang memadai maka diharapkan perawat
anestesi dapat bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan tugas yang
dibebankan kepadanya, sehingga segala resiko yang terjadi yang diakibatkan oleh
perawat anetsesi tidak dibebankan kepada profesi lain contohnya dokter bedah
atau dokter lainnya. Hal ini dinilai oleh berbagai kalangan seperti dokter
bedah sebagai ketentuan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat,
karena pada kenyataannya perawat anestesi telah berperan maksimal sebagai
pelaksana pelayanan anestesi dalam melayani masyarakat di Rumah Sakit, termasuk
pemberian informasi tentang anestesi. Dalam sudut pandang hukum, kewenangan
tetap harus diberikan berdasarkan basic keilmuan, sehingga walaupun secara
pengalaman perawat anestesi telah matang dalam pengelolaan anestesi,
tidak berarti akan menggantikan atau menjadikannya sebagai dokter spesialis
anestesi, karena pengetahuan yang didapat memang berbeda. Hal ini menjadi
dilematis, karena dalam praktik pelayanan anestesi, prinsip ketersediaan dan
keterjangkauan tetap harus dikedepankan disamping profesionalisme, mengingat pelayanan
anestesi sangat terkait erat dengan penentuan hidup mati pasien.
Payung
hukum dalam pelayanan anestesi di Rumah Sakit juga harus memperhatikan unsur
kebutuhan sosial guna menciptakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik
dalam pelayanan anestesi. Disamping itu dalam menetapkan payung hukum juga
harus diperhatikan pola perilaku yang sesuai, artinya dalam pembuatan hukum
seharusnya terdapat pengkajian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait
dengan keberlakuan dan efektifitas aturan tersebut sehingga hukum tidak
tertinggal karena tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu
dan tempat tertentu. Pengaturan kewenangan dalam pelayanan anestesi dinilai
kalangan profesi perawat anestesi dapat menimbulkan dilema terkait dengan
jaminan ketersediaan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat yang dibenarkan
secara hukum. Sementara ketidak patuhan dokter anestesi untuk berada di rumah sakit
yang ditugaskan setiap harinya, turut didukung oleh lemahnya pengawasan
pemerintah.
Dengan
demikian dalam penciptaan payung hukum, berbagai aspek sosial harus
diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan
untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai
dengan tujuannya. Pengaturan dalam Pelayanan Anestesi seharusnya dapat
memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat di dalam penyelenggaraan
praktik pelayanan anestesi, khususnya dalam mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan anestesi serta memberikan perlindungan hukum bagi
praktisi yang melaksanakan pelayanan anestesi tersebut.
B.
SEJARAH KEBERADAAN
PROFESI PERAWAT ANESTESI
Bermula
dari saat Pemerintah Belanda berkuasa di Indonesia, maka di didiklah beberapa
anak Indonesia untuk menjadi “Tenaga Kesehatan” yang disebut “Juru Rawat”. Pada
awal abad ke-19, di pulau Jawa beberapa juru rawat/mantri verpleiger diberi
kesempatan untuk dilatih menjadi “tukang bius” yang saat ini dianggap sebagai
“Perawat Anestesi” melalui training secara individual, tanpa sertifikat, namun
bekerja sebagai pembius/pelaksana anestesi dibawah supervisi dari dokter ahli
bedah. Perkembangan tenaga dengan jenis ini tidak terlalu pesat jika dilihat
dari jumlahnya sehingga pada tahun 1954, Dr. Mohamad Kellan, yang adalah
seorang dokter Indonesia yang pertama terjun dalam bidang anestesi dan
merupakan dokter ahli anestesi pertama di Indonesia, setelah belajar dari USA. mulai
merencanakan program pendidikan Penata Anestesi dibawah naungan Departemen
Kesehatan dengan mencontoh pola pendidikan Perawat Anestesi di negara Amerika
Serikat.
Pada tahun
1962 Dr.Mohamad Kellan mulai melaksanakan program pendidikan Penata Anestesi
yang mahasiswanya berasal dari tenaga dengan basic pendidikan perawat. Sekolah
Penata Anestesi yang dikukuhkan
pada tanggal 11 September 1962 oleh Departemen Kesehatan dengan No:
107/Pend./Sept 1962 , sepenuhnya melakukan kegiatan operasional nya di RSUP.
Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Mengantisipasi kebutuhan akan tenaga
pelaksana anestesi di berbagai rumah sakit di Indonesia, mengakibatkan pengiriman
mahasiswa semakin bertambah jumlahnya
dengan tuntutan akan kualitas lulusan yang lebih baik pula. Sekolah Penata
Anestesi dirasakan perlu untuk disesuaikan statusnya menjadi Akademi Anestesi
berkaitan dengan tuntutan akan mutu lulusannya dan adanya kebutuhan peningkatan
status kepegawaian dari para lulusan.
Pada
tanggal 5 November 1966, Akademi
Anestesi disetujui oleh Menteri Kesehatan dan ditetapkan dengan Surat
Keputusan RI No.92/Pend/1966 dan diterbitkan juga Surat keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI No.37/1966 dan No.5945/UU tentang Persamaan Ijazah
Pengatur Rawat Departemen Kesehatan RI dengan Sekolah Menengah Atas Negeri
tertanggal 10 Agustus 1966.
Dengan
adanya Akademi Anestesi di Jakarta merupakan satu satunya tempat pendidikan
perawat anestesi di Indonesia, untuk meningkatkan kepegawaian dan membantu
pemerintah menciptakan tenaga anestesi baik untuk memenuhi kebutuhan rumah
sakit pemerintah maupun swasta di pusat maupun di daerah. Dengan demikian maka
program-program pelayanan kesehatan khususnya pelayanan anestesi dapat dilaksanakan guna memebuhi
kebutuhan masyarakat di pusat maupun di daerah diseluruh Indonesia.
Lulusan
Akademi Anestesi yang diberi nama “Penata Anestesi” mempunyai kemampuan untuk
melakukan anestesi paripurna dari perawatan pre operatif, durante anestesi, dan
pasca anestesi, dan umumnya bekerja di rumah sakit yang sebagian besar tidak ada dokter
anestesinya dan adapula namun ada juga yang bekerja bersama-sama dengan dokter
anestesi sebagai mitra.
Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya teknologi kesehatan, Akademi Anestesi pun berupaya untuk
menyesuaikan dan mengikuti perubahan-perubahan yang berkaitan dengan
program-program pemerintah di bidang kesehatan khususnya pelayanan anestesi yang
telah berkembang menjadi pelayanan anestesi dan reanimasi yang meliputi:
1.
Pelayanan
Anestesi
2.
Pelayanan
Gawat Darurat
3.
Terapi
Intensif
4.
Terapi
Nyeri
5.
Terapi
Inhalasi
Sejak
saat itu jumlah tenaga perawat anestesi meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan
beberapa rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan pelayanan anestesi.
Program Pendidikan Penata Anestesi yang dilaksanakan adalah Akademi Anestesi
dengan durasi pembelajaran dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun. Program
pendidikan ini menggunakan kurikulum yang menyerupai Program Pendidikan Perawat
Anestesi di negara Amerika Serikat dan kompetensi yang dimiliki para lulusannya
menunjukkan kualitas yang tinggi, mampu bekerja dan bertanggung jawab secara
profesional. Pendidikan seperti Akademi Anestesi ini juga diterapkan di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat dll, dimana secara riil negara
tersebut memiliki dokter anestesi yang cukup,
namun disisi lain masih tetap mendidik Perawat anestesi dengan program
pendidikan yang sangat efektif sehingga menghasilkan lulusan dengan kompetensi
yang sangat tinggi. Hal ini perlu dicontoh oleh negara berkembang seperti di
Indonesia mengingat letak geografis berbagai wilayah di Indonesia serta
meningkatnya jumlah sarana pelayanan kesehatan di berbagai wilayah, menyebabkan
meningkatnya kebutuhan jumlah tenaga praktisi anestesi baik dokter anestesi
maupun perawat anetesi yang cukup banyak, namun seperti yang kita ketahui bahwa
institusi pendidikan yang ada saat ini belum dapat menghasilkan tenaga
kesehatan (Praktisi anestesi) sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.
C. PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT ANESTESI
DI INDONESIA
Sejarah keberadaan perawat anestesi telah
menunjukkan bagaimana lahirnya Akademi Anestesi yang merupakan pendidikan
formal perawat anestesi untuk menjadi tenaga pelaksana anestesi yang handal dan
dewasa ini sedang dipermasalahkan. Perubahan kurikulum yang sekarang dirasakan
sangat tidak memadai untuk membekali para lulusannya untuk bekerja secara
mandiri di berbagai sarana pelayanan kesehatan baik rumah sakit di pusat maupun
di daerah, bahkan dirasakan sangat perlu untuk menata kembali kurikulum
pendidikan perawat anestesi sehingga dapat menciptakan lulusan yang berkualitas
dan dapat memenuhi kebutuhan terhadap tersedianya pelaksana anestesi di
berbagai rumah sakit di Indonesia.
Setelah Akademi Anestesi yang dipimpin
oleh dr. Mohamad Kelan digantikan oleh dr. Ade Kalsim Kalsid, lalu kepemimpinan
Akademi Anestesi dipimpin oleh Bapak RO. Soepandi, B.Sc, alumni angkatan III dan
ditetapkan sebagai Direktur periode 1982 – 1987, terjadi perubahan program dan
kurikulum, yaitu yang semula bernama Akademi Anestesi menjadi PAMPERNES,
AKPERNES. Yang saat itu institusi pendidikan tersebut dipimpin oleh dr. Kartini
A. Suryadi , Sp.An. Selanjutnya menjadi Poltekkes (Politeknik Kesehatan) yang
tentu saja terjadi perubahan kualitas yaitu pemahaman dan keterampilan anestesinya
banyak berkurang, sehingga para lulusannya pun belum cukup memadai sebagai
tenaga anestesi paripurna. Berikut
gambaran Program Pendidikan Perawat Anestesi di Indonesia.
1. Program Pendidikan Akademi Anestesi ( tahun 1966 s/d 1986):
Pendidikan ini terwujud atas usul dari para
alumnus Penata Anestesi dengan alasan : pendidikan yang lamanya 2 tahun itu
tidak memberikan "civil efect" dalam sistem penggajian maupun
golongan kepegawaian bagi para lulusannya setelah mereka kembali bekerja diinstansi
mereka masing-masing. Usul ini ditanggapi positif oleh Depkes. sehingga terjadi
perubahan program pendidikan yang dikenal dengan Program pendidikan Akademi
Anestesi Depkes RI. yang merupakan program pendidikan yang
menerima calon mahasiswa yang berasal dari
lulusan Perawat yang telah berpengalaman kerja minimum 1 tahun.
Kurikulum teori dan praktik menyerupai kurikulum program pendidikan dokter spesialis anestesi, dan lamanya program pendidikan ini adalah
selama 3 (tiga) tahun. Program ini dimulai sejak tahun 1966 s/d 1986 dan umumnya mahasiswa yang masuk
pendidikan ini adalah Perawat yang mendapat tugas belajar dari instansi
diseluruh Indonesia. Dalam periode ini juga masih banyak rumah sakit pemerintah yang
menyelenggarakan kursus Perawat anestesi selama satu tahun untuk memenuhi
kebutuhan tenaga anestesi dirumah-sakit terutama didaerah diluar pulau Jawa.
Isi Program :
Akademi Anestesi.
Teori : - Ilmu Keperawatan 10 %
- Ilmu Sosial 10 %
- Ilmu Anestesi &
Medis 80 %
Praktik : -
Anestesi, Emergency, ICU, mulai dari semester I sampai VI.
2. Program
Pendidikan Akademi KeKeperawatan Anestesi / Pendidikan
Ahli Madya
KeKeperawatan Anestesi (tahun 1987 s/d
2006 ) :
Program
ini dimulai sejak tahun 1987 s/d 2006.
Dalam program ini diberikan 8 SKS
teori anestesi dan program pelatihan
/ praktik anestesi selama 6 (enam) bulan.
Isi Program : Akpernes / Ahli
Madya KeKeperawatan Anestesi.
Teori : - Ilmu Keperawatan 80 %
- Ilmu Sosial 10 %
- Ilmu
Anestesi 10 %
Praktik : -
Keperawatan dan ditambah
praktik Anestesi selama 1
( satu ) Semester.
D.
KEBERADAAN
ORGANISASI PROFESI IKATAN PERAWAT ANESTESI INDONESIA (IPAI)
Organisasi Perawat
anestesi Indonesia awalnya bernama IKLUM AKNES yang merupakan singkatan dari
Ikatan Alumni Akademi Anestesi, dibentuk atas prakarsa Bapak Amien Yusuf BSc.
An ( Alm ) bersama dengan Bapak Drs I. Ketut Sangke, BSc. An, SH pada tahun 1980 sebagai wadah para alumnus
Akademi Anestesi Dep. Kes. R.I. Jakarta yang tersebar diseluruh Indonesia.
Saat ini IPAI
merupakan satu-satunya organisasi profesi Perawat anestesi yang sah dan
berbadan hukum di Indonesia, yang memiliki 5 ( lima ) Dewan Pimpinan Wilayah
yaitu :
·
Wilayah
I : Pulau Sumatera.
·
Wilayah
II : Pulau Jawa.
·
Wilayah
III : Pulau Bali, NTB dan
NTT.
·
Wilayah
IV : Pulau Kalimantan.
·
Wilayah
V : Pulau Sulawesi, Maluku dan Papua
Barat.
Secara nasional IPAI memiliki
32 ( tiga puluh dua ) Dewan Pengurus Daerah yang merepresentasikan Propinsi
diseluruh Indonesia, dengan Jumlah anggota Perawat Anestesi
/Penata Anestesi sebanyak 1700 orang, tersebar di seluruh propinsi di
Indonesia, yang sangat memerlukan payung hukum dalam melaksanakan tugas secara
aman dan nyaman serta memerlukan program pengembangan kompetensi profesi yang
di dukung oleh Pemerintah agar dapat bekerja secara profesional dalam
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
IPAI dibentuk sebagai organisasi Perawat anestesi yang anggotanya memiliki
komitmen terhadap peningkatan standar pendidikan dan standar praktik Perawat
anestesi di Indonesia guna peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat
serta keanggotaannya serta tidak membedakan warna kulit, suku bangsa, agama,
jenis kelamin dan status sosial.
Organisasi Ikatan Perawat anestesi Indonesia (IPAI) merupakan organisasi
yang profesional sebagai sarana untuk
mengembangkan kepentingan anggotanya, bergaul dengan masyarakat, menjaga
hubungan dengan bagian-bagian di luar pelayanan kesehatan.
Organisasi IPAI direncanakan dan didirikan oleh para anggota untuk
mencapai tujuan bersama yang dapat memenuhi kebutuhan dan bermanfaat bagi diri
mereka sendiri. Organisasi IPAI akan
membantu dan menjalankan mandat dari para anggota, oleh karena itu, tujuan
organisasi harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar, filosofi, dan
nilai-nilai keanggotaan.
Organisasi
IPAI, tidak terpisah dari struktur pokok dari norma-norma
dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, seperti dinyatakan oleh para ahli,
bahwa profesi itu ada hanya apabila ada pengakuan dari masyarakat, artinya
hak-hak untuk berpraktek dan hak-hak istimewa yang diberikan kepada profesi itu
selama masyarakat masih mengakuinya. Oleh karena itu dalam melaksanakan
tugasnya organisasi IPAI harus mencerminkan keseimbangan antara kepentingan
anggota dan kepentingan masyarakat. Untuk kedua hal inilah organisasi profesi
IPAI bekerja dengan rasa percaya diri dan tanggung jawab.
Pengesahan Akta
Pendirian Organisasi Profesi : Ikatan Perawat Anestesi Indonesia ditetapkan di
Jakarta oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. pada tanggal 17
Mei 2006 dengan Nomor :
C-21.HT.01.03.TH.2006 dengan Nomor Pokok Wajib Pajak
:02.192.660.5-071.000.
Dewan Pengurus Pusat
Organisasi IPAI berdomisili
di Ibukota Negara, dengan alamat : Unit Bedah Sentral RSAB. Harapan Kita, Jalan Letjen S.Parman
Kav. 87 Jakarta Barat 11420, Telepon (021)-68044111, Fax.
(021)-54213046 HP. 0817711860, dan sejak bulan Juni 2006 telah secara resmi menjadi anggota ke 34 dari IFNA (
International Federation of Nurse Anesthetists ).
E. MENYAMAKAN PERSEPSI
:
Apakah
Perawat Anestesi DAPAT disamakan dengan PERAWAT dan menjadi Anggota PPNI??
FAKTA YANG PERNAH TERJADI :
1. Tahun
1986
Ketua Umum IPAI ( Ketut Sangke)
menempuh jalur hukum, karena adanya
pengakuan dari PPNI bahwa Penata Anestesi
disamakan dengan Perawat dan menjadi anggota PPNI.
Masalah yang ada:
a. Jabatan fungsional keperawatan tidak mengakomodir
kegiatan Perawat/Penata Anestesi walaupun hanya dalam konsideran atau penjelasan
lain.
b. Permasalahan kepegawaian yang dirasakan sangat
merugikan oleh para perawat anestesi karena kegiatan pelayanan anestesi yang
dilakukan oleh perawat anestesi tidak dapat diakui sebagai angka kredit untuk
persyaratan kenaikan pangkat, sehingga
hal ini dianggap sangat krusial dan perlu diupayakan solusinya agar perawat
anestesi memiliki jabatan fungsional untuk kebutuhan kepegawaian.
2. Tahun
1990 – 1993
Penyusunan
Jabatan fungsional Penata Anestesi telah disusun dan didukung oleh WHO serta
telah diusulkan ke Menteri Kesehatan RI. Saat itu Departemen Kesehatan telah
menyetujui untuk memfasilitasi dana penyusunan jabatan fungsional perawat
anestesi, namun keberatan dan menolak apabila
butir butir kegiatannya dimasukkan kedalam jabatan fungsional keperawatan.
Apakah draf
jabatan fungsional perawat anestesi yang pernah dan telah disusun tersebut sudah
direvisi atau belum ???, saran dari IPAI adalah sebaiknya draf tersebut
dilanjutkan dengan pembuatan pembobotan
untuk tugas-tugas yang dilaksanakan oleh perawat anestesi.
3. Perbedaan antara PERAWAT
ANESTESI dan Perawat :
a. Penata/perawat anestesi mempunyai tugas-tugas terkait
dengan perawatan Pre Anestesi, Intra Anestesi dan Pasca anestesi, sementara
Perawat tidak melaksakan tugas tersebut.
b. Kompetensi Perawat Anestesi terdiri dari kompetensi keperawatan
anestesi yang dilakukan mandiri dan kolaborasi yang memiliki keterkaitan dengan
tugas medis, sehingga apabila dipaksakan
masuk kedalam jabatan fungsional perawat maka akan berbenturan.
c. Bila digambarkan tentang posisi perawat anestesi,
adalah sebagai berikut:
Jakarta,
Februari 2011
DEWAN PENGURUS PUSAT
IKATAN PERAWAT
ANESTESI INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar